Bagai ayam mati di lumbung padi. Pepatah ini cukup bertalian dengan
kondisi yang diterima rakyat Kalimantan Timur. Melimpahnya kekayaan
alam, baik di daratan maupun di perairan, hingga saat ini masih belum
mampu membawa kepada sebuah kehidupan yang menyenangkan. Krisis
energi listrik, bencana banjir dan kekeringan, hingga tergusurnya lahan
pertanian produktif demi kepentingan pengusaha, masih menjadi
pemandangan keseharian di kehidupan.
Wakil Gubernur Kaltim beberapa waktu lalu menyatakan dari luasan
5,24 juta hektar areal Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) di
Kaltim, hanya seluas 0,6 juta hektar lagi untuk pengembangan kegiatan
usaha pertanian dan 0,61 juta hektar diperuntukkan bagi
pengembangan usaha perkebunan lainnya, sementara sisanya untuk
pengembangan perkebunan kelapa sawit. Sangat terlihat jelas arah
kepentingan pembangunan propinsi Kaltim saat ini. Ketahanan pangan
menjadi hal yang tak penting bagi pemerintah.
Pangan merupakan sebuah kebutuhan utama bagi kehidupan manusia.
Ketersediaan pangan menjadi sebuah isu penting di negeri yang pernah
berswasembada pada dekade lalu. Kerawanan pangan pernah terjadi di
berbagai wilayah di Indonesia. Hilangnya budaya bertani di tingkat
komunitas lokal yang terjadi akibat gesekan budaya dan tekanan
kebutuhan hidup. Sistem ketahanan pangan lokal yang selama ini
menjadi sebuah penyangga sistem berkehidupan, secara perlahan
berganti dengan sebuah keinginan konsumtif yang dibentuk secara
sengaja oleh kelompok kepentingan yang datang berkunjung.
Ketahanan pangan sebenarnya merupakan amanat UU No. 7/1996
tentang Pangan, yang diperkuat dengan Pasal PP No. 68/2002 tentang
Ketahanan Pangan. Dijelaskan bahwa untuk mewujudkan penyediaan
pangan pemerintah harus: (1) mengembangkan sistem produksi pangan
yang bertumpu pada sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal; (2)
mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan; (3) mengembangkan
teknologi produksi pangan; (4) mengembangkan sarana dan prasarana
produksi pangan, serta; (5) mempertahankan dan mengembangkan
lahan produktif.
Indonesia pernah membentuk Dewan Ketahanan Pangan, berdasarkan
Keppres Nomor 132 tahun 2001, dimana Dewan Ketahanan Pangan ini
bertugas untuk membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan di
bidang ketahanan pangan nasional, yang meliputi aspek ketersediaan,
distribusi, dan konsumsi serta mutu, gizi, dan keamanan pangan; serta
melaksanakan evaluasi dan pengendalian pemantapan ketahanan
pangan nasional. Hal serupa diperintahkan untuk dibentuk di tingkat
Propinsi dan tingkat Kabupaten. Namun sepertinya keberadaan Dewan
Ketahanan Pangan ini tidak pernah terdengar. Mungkin ini dikarenakan
Ketua Dewan Ketahanan Pangan adalah Presiden dan Ketua Harian
adalah Menteri Pertanian. Bahkan untuk tingkat propinsi ataupun
kabupaten, malah tak pernah diketahui keberadaannya.
Meski diakui bahwa kebijakan pangan yang ada tersebut sangat bias
Pulau Jawa, namun setidaknya pemerintah propinsi maupun kabupaten
dapat lebih tegas untuk memahami tentang lahan produktif rakyat,
yang selama ini menjadi sumber pangan bagi komunitas lokal termasuk
hingga di tingkat kecamatan dan kabupaten. Hal utama dan penting
dilakukan adalah untuk tetap mempertahankan keberadaan lahan
produktif rakyat. Ironisnya adalah Pemerintah Kabupaten dan/atau
Propinsi, secara sendiri maupun bersama melakukan penghilangan
lahan-lahan produktif pangan rakyat untuk kepentingan pertambangan,
perkebunan besar, dan hutan tanaman industri.
Nampaknya, kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada
kepentingan investasi akan tetap berlanjut. Ini ditunjukkan oleh
kebijakan-kebijakan pemerintah sekarang yang memberikan ruang
kemudahan bagi investor untuk menancapkan cakarnya di negeri ini.
Belum termasuk subsidi yang diberikan oleh negara kepada investor,
semisal kemudahan perolehan kawasan, kredit tanpa jaminan dan
bunga rendah, hingga pengabaian kewajiban kelayakan usaha.
Sementara terhadap kepentingan ketahanan pangan, pemerintah hanya
mengalokasikan sedikit energinya agar rakyat tetap dapat
berkehidupan. Kondisi inilah yang berakibat pada pemerintah
mengambil jalan yang salah dengan mengimpor beras dan komoditi
pangan lainnya. Ketiadaan lahan pertanian, ditambah dengan belum
lepasnya petani dari ketergantungan terhadap produk pabrik (buah
revolusi hijau), menjadikan kelompok petani dan peladang harus
berjuang keras (sendiri) untuk dapat keluar dari keterpurukannya.
Sajian kompensasi lahan yang diberikan oleh pengusaha dengan
bersandar pada kebijakan pemerintah, juga secara perlahan telah
menggerus tatanan budaya pangan lokal, selain juga semakin
mempercepat hilangnya lahan produktif pangan. Belum termasuk pada
pengambilan paksa lahan produktif oleh pengusaha dengan bantuan
aparat pemerintah dan aparat keamanan, dengan dalih menjaga
keamanan investasi.
Sangat bodoh pemerintah selama ini yang telah menggantungkan nasib
perut rakyatnya di tangan segelintir kelompok yang bernama
pengusaha. Padahal sudah terbukti, di masa krisis ekonomi, kelompokkelompok
ekonomi rakyat-lah yang mempercepat pulihnya kembali
sistem perekonomian negeri ini. Sementara kelompok pengusaha masih
harus diinfus oleh pemerintah untuk bisa kembali, itupun dengan
mengalihkan tanggung jawabnya kepada negara.
Ketahanan pangan harusnya sudah menjadi bagian yang penting di
negeri ini. Semakin sempitnya lahan untuk bertani dan berladang,
hilangnya benih tanaman pangan lokal, hingga hancurnya sistem
ketahanan pangan lokal, harus menjadi hal yang penting bagi
pemerintah, juga bagi kelompok masyarakat lainnya, termasuk
akademisi. Bagaimana untuk tetap bisa melindungi dan membangkitkan
kembali sistem ketahanan pangan lokal, harus masuk dalam agenda
penting dan utama pembangunan propinsi ini.
Pemerintah Propinsi beserta pemerintah kabupaten-kota di Kaltim
sudah saatnya harus mengarahkan kerangka berpikirnya pada
pemenuhan kebutuhan lokal, tidak sekedar mengejar target angka
pertumbuhan semata. Berpihak pada kepentingan investasi adalah
langkah awal untuk menuju kesengsaraan. Berada di posisi rakyat
merupakan jalan panjang karir politik pemimpin daerah. Tidak sekedar
pemanis bibir (lip services), namun dalam kerangka lebih besar dalam
membuat dan melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintahan.
Pemerintah juga harus melahirkan kebijakan untuk melindungi kawasan
produktif rakyat, utamanya lahan pertanian (perladangan), serta lahan
cadangan pangan dan kawasan budaya-religi lokal, supaya komunitas
lokal akan tetap mampu bertahan di tengah pertarungan ekonomi
global. Agar ayam tak mati di lumbung padi!
kondisi yang diterima rakyat Kalimantan Timur. Melimpahnya kekayaan
alam, baik di daratan maupun di perairan, hingga saat ini masih belum
mampu membawa kepada sebuah kehidupan yang menyenangkan. Krisis
energi listrik, bencana banjir dan kekeringan, hingga tergusurnya lahan
pertanian produktif demi kepentingan pengusaha, masih menjadi
pemandangan keseharian di kehidupan.
Wakil Gubernur Kaltim beberapa waktu lalu menyatakan dari luasan
5,24 juta hektar areal Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) di
Kaltim, hanya seluas 0,6 juta hektar lagi untuk pengembangan kegiatan
usaha pertanian dan 0,61 juta hektar diperuntukkan bagi
pengembangan usaha perkebunan lainnya, sementara sisanya untuk
pengembangan perkebunan kelapa sawit. Sangat terlihat jelas arah
kepentingan pembangunan propinsi Kaltim saat ini. Ketahanan pangan
menjadi hal yang tak penting bagi pemerintah.
Pangan merupakan sebuah kebutuhan utama bagi kehidupan manusia.
Ketersediaan pangan menjadi sebuah isu penting di negeri yang pernah
berswasembada pada dekade lalu. Kerawanan pangan pernah terjadi di
berbagai wilayah di Indonesia. Hilangnya budaya bertani di tingkat
komunitas lokal yang terjadi akibat gesekan budaya dan tekanan
kebutuhan hidup. Sistem ketahanan pangan lokal yang selama ini
menjadi sebuah penyangga sistem berkehidupan, secara perlahan
berganti dengan sebuah keinginan konsumtif yang dibentuk secara
sengaja oleh kelompok kepentingan yang datang berkunjung.
Ketahanan pangan sebenarnya merupakan amanat UU No. 7/1996
tentang Pangan, yang diperkuat dengan Pasal PP No. 68/2002 tentang
Ketahanan Pangan. Dijelaskan bahwa untuk mewujudkan penyediaan
pangan pemerintah harus: (1) mengembangkan sistem produksi pangan
yang bertumpu pada sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal; (2)
mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan; (3) mengembangkan
teknologi produksi pangan; (4) mengembangkan sarana dan prasarana
produksi pangan, serta; (5) mempertahankan dan mengembangkan
lahan produktif.
Indonesia pernah membentuk Dewan Ketahanan Pangan, berdasarkan
Keppres Nomor 132 tahun 2001, dimana Dewan Ketahanan Pangan ini
bertugas untuk membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan di
bidang ketahanan pangan nasional, yang meliputi aspek ketersediaan,
distribusi, dan konsumsi serta mutu, gizi, dan keamanan pangan; serta
melaksanakan evaluasi dan pengendalian pemantapan ketahanan
pangan nasional. Hal serupa diperintahkan untuk dibentuk di tingkat
Propinsi dan tingkat Kabupaten. Namun sepertinya keberadaan Dewan
Ketahanan Pangan ini tidak pernah terdengar. Mungkin ini dikarenakan
Ketua Dewan Ketahanan Pangan adalah Presiden dan Ketua Harian
adalah Menteri Pertanian. Bahkan untuk tingkat propinsi ataupun
kabupaten, malah tak pernah diketahui keberadaannya.
Meski diakui bahwa kebijakan pangan yang ada tersebut sangat bias
Pulau Jawa, namun setidaknya pemerintah propinsi maupun kabupaten
dapat lebih tegas untuk memahami tentang lahan produktif rakyat,
yang selama ini menjadi sumber pangan bagi komunitas lokal termasuk
hingga di tingkat kecamatan dan kabupaten. Hal utama dan penting
dilakukan adalah untuk tetap mempertahankan keberadaan lahan
produktif rakyat. Ironisnya adalah Pemerintah Kabupaten dan/atau
Propinsi, secara sendiri maupun bersama melakukan penghilangan
lahan-lahan produktif pangan rakyat untuk kepentingan pertambangan,
perkebunan besar, dan hutan tanaman industri.
Nampaknya, kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada
kepentingan investasi akan tetap berlanjut. Ini ditunjukkan oleh
kebijakan-kebijakan pemerintah sekarang yang memberikan ruang
kemudahan bagi investor untuk menancapkan cakarnya di negeri ini.
Belum termasuk subsidi yang diberikan oleh negara kepada investor,
semisal kemudahan perolehan kawasan, kredit tanpa jaminan dan
bunga rendah, hingga pengabaian kewajiban kelayakan usaha.
Sementara terhadap kepentingan ketahanan pangan, pemerintah hanya
mengalokasikan sedikit energinya agar rakyat tetap dapat
berkehidupan. Kondisi inilah yang berakibat pada pemerintah
mengambil jalan yang salah dengan mengimpor beras dan komoditi
pangan lainnya. Ketiadaan lahan pertanian, ditambah dengan belum
lepasnya petani dari ketergantungan terhadap produk pabrik (buah
revolusi hijau), menjadikan kelompok petani dan peladang harus
berjuang keras (sendiri) untuk dapat keluar dari keterpurukannya.
Sajian kompensasi lahan yang diberikan oleh pengusaha dengan
bersandar pada kebijakan pemerintah, juga secara perlahan telah
menggerus tatanan budaya pangan lokal, selain juga semakin
mempercepat hilangnya lahan produktif pangan. Belum termasuk pada
pengambilan paksa lahan produktif oleh pengusaha dengan bantuan
aparat pemerintah dan aparat keamanan, dengan dalih menjaga
keamanan investasi.
Sangat bodoh pemerintah selama ini yang telah menggantungkan nasib
perut rakyatnya di tangan segelintir kelompok yang bernama
pengusaha. Padahal sudah terbukti, di masa krisis ekonomi, kelompokkelompok
ekonomi rakyat-lah yang mempercepat pulihnya kembali
sistem perekonomian negeri ini. Sementara kelompok pengusaha masih
harus diinfus oleh pemerintah untuk bisa kembali, itupun dengan
mengalihkan tanggung jawabnya kepada negara.
Ketahanan pangan harusnya sudah menjadi bagian yang penting di
negeri ini. Semakin sempitnya lahan untuk bertani dan berladang,
hilangnya benih tanaman pangan lokal, hingga hancurnya sistem
ketahanan pangan lokal, harus menjadi hal yang penting bagi
pemerintah, juga bagi kelompok masyarakat lainnya, termasuk
akademisi. Bagaimana untuk tetap bisa melindungi dan membangkitkan
kembali sistem ketahanan pangan lokal, harus masuk dalam agenda
penting dan utama pembangunan propinsi ini.
Pemerintah Propinsi beserta pemerintah kabupaten-kota di Kaltim
sudah saatnya harus mengarahkan kerangka berpikirnya pada
pemenuhan kebutuhan lokal, tidak sekedar mengejar target angka
pertumbuhan semata. Berpihak pada kepentingan investasi adalah
langkah awal untuk menuju kesengsaraan. Berada di posisi rakyat
merupakan jalan panjang karir politik pemimpin daerah. Tidak sekedar
pemanis bibir (lip services), namun dalam kerangka lebih besar dalam
membuat dan melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintahan.
Pemerintah juga harus melahirkan kebijakan untuk melindungi kawasan
produktif rakyat, utamanya lahan pertanian (perladangan), serta lahan
cadangan pangan dan kawasan budaya-religi lokal, supaya komunitas
lokal akan tetap mampu bertahan di tengah pertarungan ekonomi
global. Agar ayam tak mati di lumbung padi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar